<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31936954\x26blogName\x3dTikaQy+Blog\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tikaqy.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tikaqy.blogspot.com/\x26vt\x3d-1037016941778626016', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
TikaQy Blog
 

Terbangun dengan garis tikar membekas

Abdullah bin Mas'ud masuk ke rumah Rasulullah. Sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil, di sisi masjid Nabawi. Terlihat olehnya Rasulullah SAW sedang lelap dalam tidurnya. Dalam ruangan yang sangat sederhana itu, Rasulullah SAW tidur begitu saja. Hanya beralaskan tikar kasar. Tidak ada kasur, tidak juga tumpukan bantal yang nyaman dan menenangkan.
Tak lama Rasulullah SAW terbangun. Nampak di pipinya garis-garis tikar yang membekas jelas. Seorang Rasul mulia, manusia pilihan, tidur hanya dengan tikar kasr, yang lantas mengguratkan garis-garis di pipinya?
Melihat kondisi Rasulullah SAW seperti itu, Abdullah bin Mas'ud sangat terharu. Hingga akhirnya ia tak kuasa membendung air matanya. Abdullah bin Mas'ud menangis. Segera ia mendekati Rasulullah SAW, lalu menghapus debu yang menempel di pipinya yang mulia.
Melihat Abdullah bin Mas'ud menangis, Rasulullah SAW bertanya, "Wahai Abdullah, apa yang engkau tangisi?". Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Ya Rasulullah, aku teringat kemewahan para kaisar Persia dan Romawi. Mereka tidur di atas hamparan sutra yang lembut." Ya, itulah jawaban Abdullah. Itulah yang menyebabkan Abdullah bin Mas'ud menangis. Rasul mulia yang membawa agama kebenaran, membawa wahyu dari langit, tidur di ruangan sempit dengan alas apa adanya? Sementara itu, para pembesar-pembesar Persia dan Romawi yang kafir dan memusuhi Islam, bisa tidur dalam segala kemewahan?
Mendengar jawaban Abdullah bis Mas'ud itu, Rasulullah SAW pun berusaha menghibur Abdullah. Rasulullah SAW mengatakan, "Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia ini. Sedangkan kita memiliki akhirat? Aku dan dunia ini ibarat seseorang yang berjalan di terik matahari. Kemudian ia berteduh di bawah pohon. Ketika hari sudah teduh kembali, ia pun pergi."
Begitulah, tangisan Abdullah adalah tangisan keimanan. Tangis yang mengalir dari air mata cinta kepada Rasul. Sesuatu yang merupakan bagian penting dari keseluruhan serat-serat cinta seorang mukmin, setelah cintanya kepada Allah SWT. Itu adalah tangis kepedihan, atas 'ketidak mengertian' dunia akan arti dan harga sebuah kemuliaan. Bahwa semestinya para pengikut kekafiran, yang berlomba-lomba sekuat tenagauntuk menghalangi kebenaran, yang berusaha dengan segala daya untuk memadamkam cahaya iman, atau para penyebar kebusukan dan keculasan dalam segala bentuknya, semestinya mereka tak menikmati gemerlap dunia ini. Sebaliknya, Rasulullah SAW yang mulia yang membimbing manusia meninggalkan kegelapan menuju cahaya Islam yang terang semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak.
Tetapi tangisan Abdullah bukan ratapan akan kemewahan dunia yang seakan tak berpihak kepada Rasul junjungannya, atau juga kepada dirinya. Tidak, ia tahu betul bagaimana memaknai imannya kepada Allah, juga kepada Rasul-Nya. Tetapi disinilah kita menyaksikan, bahwa sisi-sisi kemanusiaan seorang Abdullah muncul dan mengalirkan gelombang rasa gundah yang sangat alami. Apa yang dilihatnya dengan mata kepalanya, tentang tidur Rasulullah yang sangat bersahaja, juga tentang goresan-goresan bekas tidur itu, adalah obyek penglihatan mata yang sangat kontras. Sebuah pandangan yang seketika menghentak sisi kemanusiaan Abdullah.
Tangisan Abdullah, menjadi semacam perlambang, betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan mukmin, untuk menerima ganjilnya pemihakan dunia kepada orang-orang yang bejat. Namun sekejap gundah dan tangisnya, adalah sehamparan pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Betapa bila kita mengukur hidup ini dengan timnangan dunia, akan banyak hal-hal yang sangat menyesakkan.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia kotor justru berkoar-koar bak manusia-manusia suci, diacungkan kepada mereka segala simbol penghargaan.
Lihatlah bagaimana keadilan sangat tidak berpihak kepada orang-orang yang punya hak.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang hidupnya sangat hitam, berlumur darah orang-orang yang tak berdosa, justru bisa ditampilkan selayaknya pahlawan yang bertaburan sanjungan dan puji-pujian. Rasulullah SAW pernah menjelaskan tentang hari-hari yang sulit sepeninggalnya kelak, yaitu hari-hari ketika orang-orang yang benar didustakan dan orang-orang dosa dibenarkan. Dan hari-hari yang dimaksud telah banyak dijumpai saat ini, a'udzubillah !
Gemerlapnya dunia membutuhkan penyikapan yang arif, tidak hanya dengan menggunakan sisi-sisi kemanusiaan semata, dibutuhkan mata hati dan tidak sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan tidak semata kalkulasi duniawi.
Seperti itulah yang kemudian dijelaskan Rasulullah SAW kepada Abdullah. Bagaimana sesuatu yang secara lahiriah aneh dan ganjil, bisa jadi sesungguhnya secara substansial betul-betul adil. Bagaimana sesuatu yang yang secara mata telanjang terlihat pahit, boleh jadi sesungguhnya itu adalah benih-benih bagi akhir yang manis dan kesudahan yang membahagiakan. Itulah jawaban iman. Jawaban Rasulullah juga memberi makna agar orang mukmin tidak silau dengan dunia dan tidak terpakau oleh gemerlapnya dunia. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yaitu kebahagiaan abadi di akhirat.
"Dunia itu ladangnya akhirat. Manfaatkan sisa waktumu di dunia sebaik-baiknya buat mencari bekal kepulangan rumah kita yang abadi di akhirat."

(sumber: Lelaki pendek, hitam dan lebih jelek dari untanya, Ahmad Zairofi, Tarbawi Press, 2006)

Komentar