<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31936954\x26blogName\x3dTikaQy+Blog\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://tikaqy.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://tikaqy.blogspot.com/\x26vt\x3d-1037016941778626016', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
TikaQy Blog
 

Senyum, pelapang hati penaut jiwa

Dari Abu Dzar ra, Rasulullah SAW bersabda: "Engkau tersenyum di depan saudaramu adalah sedekah" (HR Bukhari dari Kitabul Adab)

Senyum itu sedekah. Dengan senyum, begitu mudah pahala sedekah tanpa mengeluarkan rupiah atau peluh. Senyum adalah luapan batin. Ia merupakan ciri khas manusia. Manusia mudah jatuh hati pada seseorang yang tersenyum. Senyum juga mampu mengusir duka.

Sebaliknya, tanpa senyum, orang akan menjauhkan diri dari kita. Manusia cenderung untuk tidak menyukai sikap sombong, angkuh, kasar dan bengis..dan semuanya wujud tanpa senyuman. Firman Allah SWT, "Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS Ali Imran: 159)

Senyum adalah sarana pengikat hati, pertautan jiwa. Ia mampu memberi kesan lebih daripada apa yang bisa dilahirkan oleh nilai kebendaan. Harta saja tidak mampu menjadi sarana pengikat hati.

Kesatuan hati dan jiwa mesti diliputi dengan suasana ruh yang terpancar dari ruh Allah. Itulah cinta. Cinta yang mampu melahirkan senyuman dari dalam hati, yang mampu melapangkan dada.

Tidak semua senyum itu sejati. Ada senyum yang muncul mewakili perasaan (ibtisamah syu'uriyah), ada juga senyum dusta (ibtisamah ghaira haqiqiyah). Senyum yang lahir dari perasaan adalah senyuman sejati. Ia hadir saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya atau menyaksikan peristiwa yang mengundang senyum. Pribadi Rasulullah SAW senantiasa dihiasi dengan sifat ini. Abdullah bin Haritsah mengatakan, "Saya belum pernah melihat seorang pun yang paling banyak bersenyum daripada Rasulullah SAW" (HR Ahmad)

Bukhari juga telah meriwayatkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasul SAW tersenyum melihat para wanita yang lari lintang pukang apabila mengetahui Umar bin Khattab ra akan datang. "Engkau lebih keras dan kasar dibanding Rasulullah SAW", kata para wanita kepada Umar ra apabila ditanya kenapa reaksi mereka sebegitu rupa.

Senyum ketika mendengar berita gembira juga termasuk dalam senyuman sejati. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ra apabila beliau dipilih oleh Rasulullah SAW untuk menemani baginda berhijrah ke Madinah. Ketika itu Abu Bakar ra tersenyum hingga menitiskan air mata kegembiraan.
Senyum juga bisa menguntum hasil dari perasaan kecewa juga sedih. Sebagaimana yang berlaku apabila Rasulullah SAW tersenyum kepada Ka'ab bin Malik (salah seorang dari tiga orang yang tidak turut serta dalam perang Tabuk). Ka'ab mengatakan, "Ketika aku datang kepadanya, aku memberi salam, dan baginda tersenyum..."

Senyum yang dilakukan saat mendapat musibah juga merupakan senyuman sejati. Senyum di waktu duka adalah tanda ketabahan. Namun untuk berlapang dada dan terus tersenyum dengan kesakitan yang memerihkan bukanlah satu hal yang mudah bagi "orang-orang biasa". Berbicara memang mudah, bermodalkan air liur untuk membasahkan lidah. Disitulah nilai iman yang memainkan peranan.

Senyum yang tulus itu sukar. Senyuman yang dusta (hasil rekayasa) juga bukan suatu yang mudah. Oleh sebab itu menjadikan senyum sebagai sedekah juga tidak semudah yang kita bayangkan. Sesungguhnya, "Senyum itu akan terasa berat dilakukan bagi jiwa yang belum dibiasakan dengan kebaikan.."

Duhai sahabatku, belajar lah selalu tersenyum karena Allah. Karena senyummu adalah sedekah buat saudaramu.....

By: tika dewi | Wednesday, January 31, 2007 at 3:26 AM | |

Wahai wanita sholehah, lembutkan suaramu!

Seorang istri sholehah mengetahui batasan-batasan dalam berbicara dengan suaminya, kadang ia bertukar pikiran kadang ia berdebat namun tetap dengan tidak mengeraskan suaranya melebihi suara suaminya. Istri sholehah meyakini bahwa mengeraskan suara melebihi suara suaminya termasuk syiarnya (ciri khas) wanita-wanita yang fasik (berbuat dosa) karena istri sholehah khawatir terjerumus kedalam perbuatan tersebut.Apabila terjadi perbuatan ini pada istri shalihah, maka ia segera menangis menyesali apa yang terjadi pada dirinya lalu meminta ridha dan maaf kepada suaminya. Istri sholehah sangat rendah suaranya, halus tutur katanya dan segar nafasnya.

Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir, ia berkata: "Abu Bakar meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu ia mendengar suara 'Aisyah yang keras dengan mengatakan, "Demi Allah, Saya telah mengetahui bahwa engkau lebih mencintai Ali daripada bapakku!." Maka Abu Bakar langsung menuju kepada 'Aisyah untuk menamparnya, beliau mengatakan, 'wahai Anak perempuan Fulanah, Saya melihatmu mengeraskan suaramu dihadapan Rasulullah!!" Maka Rasulullah pun menahannya lalu Abu Bakar pun keluar dalam keadaan marah, Rasulullah bersabda, "Wahai 'Aisyah bagaimana pendapatmu, saya telah menyelamatkanmu darinya." Kemudian Abu Bakar setelah itu minta izin lagi dan Rasulullah SAW telah damai dengan 'Aisyah, beliau berkata: "Mereka berdua telah memasukkan saya kedalam perdamaian sebagaimana kalian berdua telah memasukkan saya kedalam peperangan. Maka Rasulullah bersabda, "Kami telah melakukannya." (HR Abu Daud dan Nasai)

Seorang Badui pernah ditanya, sebutkan kepadaku sifat-sifat wanita yang paling jelek? Ia menjawab, "Wanita yang paling jelek adalah yang bersifat menguasai, menyalahgunakan kenikmatan, gampang kabur dari rumah, cepat emosi, lisannya tajam laksana ujung tombaj, suka tertawa tanpa ada yang lucu, mudah menangis tanpa sebab, mengajak ribut dengan suami, urat-urat kakinya keras bagai besai, sombong sikapnya, ucapannya mengancam dan suaranya menggelegar." (Al Mustathriif (2/302) karya: Abshaihi)
Perhatikan kata-kata: "Ucapan yang mengancam dan suaranya menggelegar." Benar, ia tidak pantas untuk sampai ke martabat istri sholehah. Benar memang, wanita yang demikian memang wanita yang paling jelek. Orang Arab Badui juga pernah ditanya ttg istri sholehah, ia menjawab," ia wanita yang paling jujur dalam tutur katanya, bijak bila sedang marah, senyum manis ketika tertawa, bila membuat sesuatu maka sangat baik hasilnya, taat kepada suaminya, tetap tinggal di rumahnya, sangat mulia di kalangan kaumnya, sangat merendah diri, sangat mengasihi, subur rahimnya dan banyak keturunannya dan semua urusannya terpuji.
Apakah pada dirimu ada sifat-sifat yang sangat mempesona ini?

(Sumber: Inilah Kriteria Muslimah Dambaan Pria oleh Abu Maryam Majdi, Pustaka Salafiyah, Jakarta, 2004)

By: tika dewi | Thursday, January 25, 2007 at 4:55 AM | |

Tidak ada jalan menuju maksiat

Pada suatu waktu Ibrahim bin Ad Ham didatangi seorang lelaki, seraya berkata, "Wahai Abu Ishak, aku seorang yang berlimbah dosa, banyak melakukan kedzaliman, berkenan kiranya tuan mengajariku hidup zuhud, agar Allah memberikan jalan terang dalam kehidupanku dan melembutkan hatiku yang gerang"
"Manakala dirimu dapat memegang teguh 6 perkara yang akan kami kemukakan, tentu akan mendapatkan keselamatan", jawab Ibrahim binAd-Ham.
"Apa itu, wahai Abu Ishak?, tanyanya.


"Pertama, manakala dirimu akan melakukan maksiyat, janganlah makan rizki Allah".
"Manakala di seluruh penjuru bumi, baik di barat maupun di timur, di darat maupun di laut, di kebun maupun di gunung merupakan rizki dari Allah, terus darimana aku makan?"
"Wahai saudaraku, pantaskah kamu memakan rizqi Allah, sedangkan dirimu melanggar peraturanNya?"
"Tidak, demi Allah. Kemudian apa yang kedua?"

"Yang kedua, manakala kamu bermaksiyat kepada Allah, janganlah bertempat tinggal di negeri-Nya."
"Tuan Ibrahim, demi Allah, yang kedua ini lebih berat, bukankah bumi ini milikNya? Kalau demikian, dimanakah aku harus tinggal?" tukas lelaki itu
"Patutkah kamu makan rizki Allah dan bertempat tinggal dibumiNya sedangan dirimu melakukan maksiyat kepadaNya?"
"Tidak pantas wahai tuan guru," jawab sang lelaki.

"Ketiga, manakala dirimu hendak melakukan maksiyat, jangan melupakan Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan melihat setiap gerak hati nurani," tukas lelaki itu.
"Layakkah manakala dirimu menikmati rizki Allah, bertempat tinggal di bumi Allah, dan melakukan maksiyat kepada Nya sedangkan Allah melihat dan mengawasi perilakumu?"
"Tentu saja tidak, wahai tuan guru. Terus apakah yang keempat?", tanya lelaki dengan penuh harap.

"Yang keempat, manakala malaikat maut datang kepadamu, hendak mencabut nyawa, katakanlah kepadanya, "Tunggu sebentar, aku akan bertaubat."
"Tuan guru, hal itu sangat mustahil! Dan permintaan itu tidak bakal dikabulkannya," jawab sang lelaki.
"Kalau dirimu sadar, bahwa tidak bakal menolak keinginan malaikat maut (‘Izrail), tentu dia akan datang kepadamu kapan saja. Barangkali sebelum dirimu melakukan taubat, " tutur Ibrahim.
"Benar apa yang tuan ucapkan. Terus apa yang kelima?", tanya sang lelaki

"Yang kelima, manakala malaikat Munkar dan Nakir datang kepadamu, tantanglah dan lawanlah dengan segala kekuatan yang ada, manakala dirimu mampu."
"Itu suatu hal yang sangat mustahil lagi, wahai tuan guru."

"Yang keenam, manakala kelak dirimu berada di sisi Allah, dan Dia menyuruhmu masuk neraka, katakanlah, "Ya Allah, aku tidak bersedia masuk kedalamnya", tukas Ibrahim bin ad Ham.

"Wahai tuan guru, keenam perkara itu sangat berat. Cukup, aku telah sadar dan mengerti".
Lelaki itu pun segera meninggalkan Ibrahim bin Ad Ham dengan hati lega, dan menambah kesadaran dalam hatinya.


Kebajikan adalah budi pekerti yang baik dan dosa adalah apa-apa yang meragukan (pada) dirimu dan engkau tidak suka diketahui orang lain (dalam melakukannya).
(HR Muslim)


Kebajikan itu adalah apa-apa yang jiwa dan hatimu tentram kepadanya, dan dosa adalah yang jiwa dan hatimu ragu-ragu terhadapnya, walaupun orang-orang memberi fatwa padamu serta membenarkannya. (HR Ahmad dan Ad Darimi)


(diambil dari : "Pesan-pesan Sufi", karya Abdurrahman Ibn. Jauzi)

By: tika dewi | Monday, January 22, 2007 at 3:32 AM | |

Bunga yang cantik itu................

"Bunga yang kembang dan cantik itu jarang yang wangi...begitulah orang yang cantik jarang yang berbudi."

Apabila si gadis dipuji dengan kata-kata, "Kamu ini cantik", maka akan menguntumlah sebutir senyuman di bibirnya dan berbungalah hatinya. Tersipu-sipulah dia. Begitulah manusia, senang dipuji kecewa bila dicaci.
Tetapi lain halnya bagi si mukmin yang merasa dirinya miskin dengan Tuhannya. Terasa kerdil tatkala berhadapan dengan pujian dan sanjungan manusia.
Wanita yang cantik selalu ditimpa perasaan karena sadar dirinya punya kelebihan. Kata orang, wanita cantik banyak maunya. Diri merasa bangga, seisi dunia seakan mau digenggamnya.
Kalau ia seorang gadis dirinya sanggup menjadi tukaran dengan uang yang berjuta. Ada pula yang rela menjad dara tua. Hidup liar baik merpati, senang didekati dan ditangkap lari.
Jika ia seorang isteri yang sadar dan bangga dengan kecantikannya maka suamilah yang menjadi mangsa. Si suami selalu melutut dan kalah dengan kehendak dan tingkahnya. Lebih malang jika si suami pula suka akan kecantikan isterinya. Ia menyayangi isterinya atas dasar kecantikannya.
Jadilah ia seorang suami laksana lembu yang dicucuk hidungnya. Kemana diarah di situlah perginya, alangkah kasihan dia. Si isteri yang cantik rupawan akan merayu dan meradang andai kemauannya tidak tercapai, ngambek hendak balik kampung atau minta cerai, Na'udzubillah!

Alangkah indahnya jika si isteri tadi, kecantikannya digunakan untuk meniup semangat jihad ke lubuk hati mujahidin.
Ketahuilah, keutamaan dan nilai diri seorang wanita baik cantik atau tidak terletak pada akhlaknya. Kalau ia seorang isteri, ketaatannya pada suami adalah akhlak yang indah.
Wanita yang cantik tetapi tidak berbudi pakerti tinggi, lebih-lebih lagi isteri yang cantik yang durhaka pada suami adalah ibarat bunga raya. Cantik warnanya harumnya tiada.
Sebaliknya wanita yang tidak cantik tetapi berakhlak mulia, taat suaminya, senantiasa mencari keridhaanNya, ibarat bunga cempaka. Tiada rupa tetapi harumnya memikat jiwa.
Antara bunga raya dan bunga cempaka pastilah cempaka yang diminati orang.Kasihan si bunga raya, tidak dijual atau dipakai orang. Ibarat gadis murahan yang mempertontonkan kecantikan. Andaikata nanti ada yang berkenan tetapi ia tidak sadar diri jadi mainan.Wanita yang tidak cantik dan juga tidak berakhlak baik akan menyakitkan hati dan mata. Ibarat bunga yang tidak sedap dipandang juga tidak harum baunya. Maka tidak ditemukan daya tarik dan keindahan darinya. Usah bangga dan risau akan paras rupa untuk merebut kasih sayang manusia. Tetapi marilah berlomba-lomba untuk menjadi wanita yang bertaqwa dan berakhlak mulia. Niscaya disayangi Allah serta makhluk-makhlukNya.
Seharusnya pribadi yang dikaruniakan Allah dengan nikmat kecantikan senantiasa resah jiwanya. Bukan karena takut luput karunia itu darinya, bukan pula karena ada yang iri hati dan mau menganiaya atau menandingi kejelitaannya.
Resahnya adalah karena menghitung-hitung pahala-pahala yang menghilang akibat pujian dan sanjungan manusia yang bakal menjerumuskannya ke jurang neraka.Mengira-ngira bagaimana untuk meruntuhkan gunung mazmumah akibat dari kecantikan diri yang dijulang bagaikan mahkota. Apalagi jika kecantikan itu hidangan bagi setiap insan, cantik indah tetapi hina tersebar. Menjadi mainan nafsu dan syaitan.
Bersyukur dengan segala nikmat Allah, baik buruk, cantik tidak adalah pemberian Allah. Yang berwajah cantik atau tidak sama2 butuhkan bekal.
Akan tiba saatnya dimana yang berwajah cantik indah dikerumuni oleh cacing dan ditimbuni tanah di liang lahad yang gelap lagi sunyi. Tatkala itu bersandinglah manusia dengan kematian. Apakah baru disaat itu mau diucapkan bahwa nikmat iman dan Islam adalah sebesar-besar anugerah pemberian Allah? Baru menyadari diri rela berjuang, berkorban apa saja demi mendapatkannya disaat segalanya sudah terlambat?
Kenangilah nasib diri di hari hisab. Segala pinjaman Allah itu, untuk apa digunakan selama hidup ini?
Lunakkan hati, tenangkan perasaan. Lihatlah ke seluruh penjuru alam. Di mana saja mata menjurus disana kan temukan keagungan Allah.
Dongakkan kepala ke langit biru, tundukkan wajah ke bumi yang hijau. Saksikanlah kilauan mentari, percikan cahaya bulan dan bintang. Langit yang dijadikanNya tidak bertiang, gunung-gunung tidak berpancang. Usah terlena dibuai keindahan, sesungguhnya pada segalanya itu terkandung pengajaran:

"Dan apa saja nikmat yang ada padamu dari Allahlah datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan maka hanya padaNyalah kamu meminta pertolongan" (QS An-Nahl: 53)

Wallahu'alam.

By: tika dewi | Wednesday, January 17, 2007 at 6:37 AM | |

Mutiara yang hilang

Ketika berita kedatangan tentara Kristen yang telah siap-siap menghapuskan orang Islam di perbatasan, sampai ke telinga Abu Qadaamah Ash-Shaami, dia langsung bergegas ke mimbar masjid. Dengan ucapan yang membangkitkan semangat, Abu Qadaamah berhasil mengobarkan semangat masyarakat Islam untuk mempertahankan tanah dengan berjihad karena Allah.
Dalam perjalanan pulangnya seorang wanita memberhentikannya lalu berkata, "Assalamu'alaikum wa rahmatullah!". Abu Qadaamah menghentikan langkahnya namun dia tidak memberikan jawaban apa-apa.
Wanita tersebut mengulangi salamnya dan menambah, "Bukanlah ini pekerti seorang yang alim". Lalu mendekati sambil berkata, "Aku mendengar seruanmu di masjid menggalakkan orang-orang beriman untuk berjihad dan apa yang ada padaku hanyalah..." Wanita tersebut menyerahkan dua utas tali kepadanya. Semoga Allah azza wajala menuliskan aku sebagai salah seorang yang mengikuti Jihad-Nya."
Keesokan harinya ketika pasukan Islam siap-siap maju menghadapi musuh, datang seorang anak lelaki berlari menerobos barisan dan berdiri di sebelah kuda Abu Qadaamah sambil berkata, "Demi Allah, aku meminta izinmu untuk menyertai tentara ini." Beberapa pejuang Islam menertawakan anak tersebut. "Kuda-kuda ini akan menginjak-injak mu," kata mereka.
Tetapi Abu Qadaamah merenung jauh ke dalam mata anak tersebut ketika dia mengulangi permintaannya, "Demi Allah, izinku menyertainya". Abu Qadaamah kemudian bersuara, "Hanya dengan satu syarat, seandainya engkau syahid, engkau akan membawaku ke syurga bersama-sama mereka yang engkau akan meminta syafa'at untuknya." Anak tersebut tersenyum, tanda janji.
Ketika kedua pasukan bertarung habis-habisan, anak tersebut yang duduk di belakang kuda Abu Qadaamah meminta, "Demi Allah, berilah aku tiga bilah anak panah". "Engkau akan mensia-siakannya!" balas Abu Qadaamah. Anak tersebut mengulangi permintaannya, "Demi Allah, berikanku anak panah tersebut." Lantas Abu Qadaamah memberikannya dan budak tersebut meluncurkan panah tepat ke arah sasaran.
"Bismillah!" Anak panahnya yang pertama tepat menembus seorang pejuang Kristen. "Bismillah!" Anak panahnya yang kedua juga tepat menembus pejuang Kristen yang kedua. "Bismillah!" Anak panahnya yang terakhir juga tepat menembusi pejuang Kristen yang seterusnya. Tiba-tiba, satu anak panah datang menembus dada anak tersebut dan dia rebah dari kudanya.
Abu Qadaamah segera turun ke sisinya, mengingatkan anak tersebut dalam nafas terakhirnya, "Jangan engkau lupa akan janjimu!" Anak tersebut merogoh sakunya, mengeluarkan sesuatu dan berkata, "Tolong kembalkan ini pada ibuku." "Siapa ibumu?" tanya Abu Qadaamah. "Wanita yang menyerahkan dua utas tali kepadamu tadi malam."
-----------------------------------------------------
Renungkanlah kisah ini. Duhai para muslimah, bisakah kita mencapai tingkatan taqwa seperti ini. Wanita itu sanggup mengorbankan warisnya sementara para wanita zaman sekarang sanggup menggadaikan nyawa mereka asalkan anak mereka selamat di rumah. Sesungguhnya wanita itu mengisi hidupnya dalam pengabdian kepada Allah dan pada saat ujian tiba, dia berhasil melaluinya. Bukan hanya dirinya sendiri yang lulus, malah anak lelakinya turut bersinar dengan keindahan iman yang sama...
Subhanallah!

By: tika dewi | Thursday, January 11, 2007 at 8:57 PM | |

Cerita hikmah


Cerita ini mungkin sering didengar, namun tiada salahnya untuk dibaca kembali sekedar mengingatkan dan bisa menjadi ikhtibar bagi kita semua bahwa sebagai anak memiliki kewajiban untuk membalas budi orang tuanya.
----------------------------------------------------------------
Ada seorang lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya akhirnya hidup bersama dengan anak lelakinya, Arwan dan menantu perempuannya, Rina, serta cucu satu-satunya, Viva yang baru berusia 6 tahun. Keadaan lelaki itu sudah uzur, jari-jemarinya senantiasa bergetar dan pandangannya semakin hari semakin kabur.
Malam pertama berkumpul dengan anak dan cucunya, mereka makan malam bersama. Lelaki tua itu merasa kurang nyaman menikmati hidangan di meja makan. Dia merasa amat canggung menggunakan sendok dan garpu.
Selama ini dia terbiasa duduk bersila dan makan langsung menggunakan tangannya,namun di rumah anaknya dia tidak ada pilihan. Cukup sulit buatnya, sehingga makanan berceceran tanpa dapat dikawal. Bukannya tidak merasa malu begitu dihadapan anak menantu, tetapi dia gagal menahannya.
Lantaran kerap dilirik menantunya, seleranya hilang. Dan tatkala dia mengambil gelas minuman, pegangannnya terlepas dan....prannnnggggg..!! Bertaburanlah kaca pecahan gelas itu dilantai.
Lelaki tua itu serba salah. Dia bangun, coba memungut serpihan gelas itu, tapi Arwan melarangnya. Rina bermuka masam. Viva pun kasihan melihat kakeknya, tapi dia hanya melihat, kemudian makan lagi.
"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva mendengar mamanya berkata demikian kepada papanya saat kakeknya menghilang diri masuk kedalam kamarnya. Arwan hanya membisu. Namun sempat anak kecil itu merenung tajam ke dalam mata Arwan.
Untuk memenuhi tuntutan Rina, Arwan membeli sebuah meja kecil yang rendah, lalu diletakkan di suatu sudut kamar makan. Disitulah ayahnya menikmati hidangan sendirian, sementara anak menantu makan di meja berhampiran. Viva dihalang apabila dia merengek mau makan bersama kakeknya. Air mata lelaki tua itu meleleh mengenang nasibnya diperlakukan begitu. Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan
Dia terkenang Arwah dan istrinya. Lalu perlahan-lahan dia berbisik, "Miah....buruk benar layanan anak kita pada abang." Sejak saat itu, lelaki tua itu tidak nyaman tinggal disitu.
Tiap hari dia dihardik karena menumpahkan makanan. Dia diperlakukan seperti hamba. Pernah dia berfikir untuk lari dari tempat itu, tetapi mengenang cucunya, dia menahan diri. Dia tidak mau melukai hati cucunya. Biarlah dia menahan diri dicerca dan dikucilkan anak menantu.
Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan piring kayu, begitu jga gelas minuman yang dibuat dari bambu. Dia coba mengingat-ingat dimanakah dia pernah melihat piring seperti itu. "Oh! Ya....", bisiknya. Viva teringat, ketika berkunjung ke rumah sahabat papanya dia melihat tuan rumah itu memberi makan kucing-kucing mereka menggunakan piring yang sama. "Tak akan pecah lagi, kalau tidak, nanti habis piring mangkuk mama," kata Rina ketika anaknya bertanya.
Masa terus berlalu. Walaupun makanan berserakan setiap kali makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah. Ketika Viva memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan, kedua-duanya hanya berbalas senyum.
Seminggu kemudian, sewaktu pulang dari bekerja, Arwan dan Rina terperanjat melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan-kepingan kayu. Viva seperti sedang membuat sesuatu. Ada palu, gergaji dan pisau disisinya. "Eh, apa yang sayang buat ini? Berbahaya main benda-benda ini," kata Arwan menegur manja anaknya.
Dia sedikit heran bagaimana anaknya dapat mengeluarkan peralatan itu, padahal telah disimpan di dalam kotak. "Mau buat piring, mangkuk dan gelas untuk papa dan mama. Bila Viva besar nanti, tak usah cari. Kasihan papa, terpaksa ke kota beli piring untuk kakek," kata Viva.
Gamang mendengar jawaban anaknya, Arwan terdiam. Perasaan Rina terusik. Kelopak mata kedua-duanya bergenang. Jawaban Viva menusuk, seluruh tangkai jantung dirasa seperti diris sembilu. Mereka benar-benar merasa bersalah! Malam itu Arwan memimpin tangan ayahnya ke meja makan. Rina menyenduk nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas. Nasi yang tumpah tidak dihiraukan.
Viva beberapa kali memandang mamanya, kemudia papanya dan terakhir sekali wajah kakeknya. Dia tidak bertanya, cuma tersenyum selalu untuk menyatakan rasa senang duduk bersebelahan kakeknya di meja makan. Lelaki tua itu tidak tahu kenapa anak dan menantunya tiba-tiba berubah. "Esok Viva buang pinggan kayu itu ya pa?" tanya Viva kepada papanya selepas makan. Arwan hanya mengangguk, tetapi dadanya terasa terus sesak.
---------------------------------------------------------------
Hargai kasih sayang kedua orang tua....Ibu bapak hanya satu, perginya tidak akan ada pengganti...jadi, berbaktilah kepada mereka selagi hayat dikandung badan!

By: tika dewi | Wednesday, January 10, 2007 at 6:57 AM | |

Doa senjata dan kekuatan bagi mukmin


"Doa itu senjata dan kekuatan orang beriman" (HR Al-Hakim dari Ali bin Abi Thalib)

Imam Muslim meriwayatkan bahwa sewaktu perang Badar, Rasulullah SAW berdoa di dalam kemah dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit untuk memohon,
"Ya Allah, kalau pasukan kaum Muslimin ini sampai binasa, maka Engkau tidak akan disembah lagi oleh manusia di muka bumi ini." Kemudian beliau memperkeras suaranya, "Ya Allah, tunaikanlah janji yang telah Engkau berikan kepadaku, ya Allah pertolonganMu ya Allah!"
-----------------------------------------
Ditengah begitu banyaknya musibah dan bencana yang menerpa dan mendera kisah di atas memberikan pengajaran.
Ibnu Qayyim menjelaskan, "Jika perisai doamu lebih kuat dari musibah maka ini akan menolaknya, tetapi jika musibah lebih kuat dari perisai doamu, maka ia akan menimpamu, namun doa itu sedikitnya tetap akan mengurangi efeknya. Dan jika perisai doamu seimbang dengan kekuatan musibah, maka keduaya akan bertarung."
"Tak ada gunanya waspada menghadapi takdir, namun doa bermanfaat menghadapi takdir sebelum dan sesudah ia turun dan sesungguhnya ketika musibah itu ditakdirkan turun dari langit maka ia akan segera disambut oleh doa di bumi lalu keduanya bertarung sampai hari kiamat." (HR Ahmad, al-Hikam dan Thabarani)
Dengan segala daya dan upaya mengatasi berbagai macam persoalan kehidupan, berdoa tetap mengiringinya. Ketika seorang sahabat Rasulullah selalu terlihat langsung meninggalkan shalat tanpa berdoa, Nabi pun menegurnya dengan pertanyaan, "Apakah kamu sama sekali tidak mempunyai kebutuhan kepada Allah?"
Kegagalan demi kegagalan, kesulitan demi kesulitan, bukan ajakan putus asa. Meski sering terlupa kepada Allah saat lapang dan gembira. Bila terjepit dan terhimpit baru teringat kepada Nya. Namun firman Allah adalah kepastian;
"Dan Rabbmu berkata, "Berdoalah kepadaKu niscaya akan Kupenuhi permintaanmu". (QS Al Ghafir : 60)

(MA, no.23)

By: tika dewi | Monday, January 08, 2007 at 3:41 AM | |

Sekedar renungan buat suami

Dari Muhammad bin Ma'an Al Ghifari berkata, "Seorang perempuan datang kepada Umar lalu berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya suamiku siang hari puasa dan malam hari shalat. Aku tidak senang mengadu kepadanya karena ia menjalankan ketaatannya kepada Allah". Lalu Umar berkata kepadanya, "Memang lak-laki itu adalah suamimu." Lalu berkali-kali perempuan tadi mengulangi perkataannya dan Umar pun berkali-kali pula mengulang jawabnya.
Lalu Ka'ab Al Asadi berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia membiarkan tidur sendirian." Lalu Umar menjawab, "Kalau seperti yang kau pahamkan itu ucapannya, maka putuskanlah perkara antara keduanya. Lalu Ka'ab berkata, "Saya akan datangkan suaminya." Kemudian datanglah suaminya lalu Ka'ab berkata kepadanya, "Sesungguhnya istrimu ini mengadukan kamu."
Lalu ia menjawab, "Apakah tentang perkara makan dan minum?"
Jawabnya, "Bukan."
Lalu isterinya menjawab, "Wahai Pak Hakim yang bijak bestari. Suamiku meninggalkan tempat tidurku karena masjidnya. Ia menjauhi tempat tidurku karena beribadah. Berilah keputusan wahai Ka'ab. Jangan bimbang. Siang dan malam ia tak tidur. Tetapi sikapnya terhadap perempuan, aku tidak dapat memujinya!"
Lalu suaminya menjawab, "Aku menjauhkan diri dari perempuan dan kenikmatan seks. Aku adalah orang yang sedang menekuni ayat-ayat yang diturunkan dalam Surat An Nahl dan tujuh surat-surat yang panjang (Al Baqarah, Al Imran, An-Nisa', Al Maidah, Al An'am, Al Anfal dan At-taubah). Dalam Kitabbullah ada peringatan dari Tuhan.
Setelah itu Ka'ab berkata, "Sesungguhnya isterimu mempunyai hak atas dirimu, wahai kawan. Bagian dia ada pada empat (dua paha laki-laki, dua paha perempuan) bagi orang yang berakal. Berikanlah itu kepadanya. Dan janganlah anda perpanjang alasan."
Kemudian Ka'ab berkata: "Allah menghalalkan kamu kawin dengan 4 perempuan. Tiga malamnya menjadi hakmu untuk menyembah Tuhanmu. Umar berkata, "Demi Allah. Aku tak tahu yang mana dari dua perkaramu ini yang paling ajaib. Apakah yang pengertian kamu atas perkara mereka ataukah putusan kamu pada kedua mereka ini.Sekarang baiklah anda pulang, wahai Ka'ab. Dan anda saya angkat menjadi Hakim di Bahrah."

Imam Ghazali dari madzab Syafi'i berkata, "Secepatnya suami mendatangi isterinya empat malam sekali. Ini lebih adil. Karena batas poligami ada 4 orang. Tetapi boleh diundurkan dari waktu tersebut. Bahkan lebih bijaksana kalau lebih dari sekali dalam 4 malam, atau kurang dari ini sesuai dengan kebutuhan isteri dalam memenuhi keinginan seksnya. Karena memelihara kebutuhannya wajib bagi suami, sekalipun tidak berarti ia harus minta bersetubuh. Sebab memang sulit untuk meminta yang demikian dan memenuhinya."

Telah sah menurut sunnah, bahwa suami yang menyenggamai istrinya itu, termasuk perbuatan shadaqah dan mendapat pahala dari Allah AWT.

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Bagi kamu menyenggamai isterimu adalah suatu pahala". Lalu para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah..., apakah seseorang diantara kita yang menyalurkan syahwatnya akan mendapat pahala?"
Jawab beliau, "Bagaimana pendapatmu kalau dia menyalurkan syahwatnya itu pada yang haram, apakah ia berdosa? Begitulah jika ia meletakkannya pada yang halal, maka ia mendapat pahala" (HR Muslim)

(Sumber: Fikih Sunnah 5-6-7, Sayid Sabiq, Al Ma'arif Bandung)

By: tika dewi | Saturday, January 06, 2007 at 4:11 AM | |

Terbangun dengan garis tikar membekas

Abdullah bin Mas'ud masuk ke rumah Rasulullah. Sebuah ruangan yang lebih layak disebut bilik kecil, di sisi masjid Nabawi. Terlihat olehnya Rasulullah SAW sedang lelap dalam tidurnya. Dalam ruangan yang sangat sederhana itu, Rasulullah SAW tidur begitu saja. Hanya beralaskan tikar kasar. Tidak ada kasur, tidak juga tumpukan bantal yang nyaman dan menenangkan.
Tak lama Rasulullah SAW terbangun. Nampak di pipinya garis-garis tikar yang membekas jelas. Seorang Rasul mulia, manusia pilihan, tidur hanya dengan tikar kasr, yang lantas mengguratkan garis-garis di pipinya?
Melihat kondisi Rasulullah SAW seperti itu, Abdullah bin Mas'ud sangat terharu. Hingga akhirnya ia tak kuasa membendung air matanya. Abdullah bin Mas'ud menangis. Segera ia mendekati Rasulullah SAW, lalu menghapus debu yang menempel di pipinya yang mulia.
Melihat Abdullah bin Mas'ud menangis, Rasulullah SAW bertanya, "Wahai Abdullah, apa yang engkau tangisi?". Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Ya Rasulullah, aku teringat kemewahan para kaisar Persia dan Romawi. Mereka tidur di atas hamparan sutra yang lembut." Ya, itulah jawaban Abdullah. Itulah yang menyebabkan Abdullah bin Mas'ud menangis. Rasul mulia yang membawa agama kebenaran, membawa wahyu dari langit, tidur di ruangan sempit dengan alas apa adanya? Sementara itu, para pembesar-pembesar Persia dan Romawi yang kafir dan memusuhi Islam, bisa tidur dalam segala kemewahan?
Mendengar jawaban Abdullah bis Mas'ud itu, Rasulullah SAW pun berusaha menghibur Abdullah. Rasulullah SAW mengatakan, "Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia ini. Sedangkan kita memiliki akhirat? Aku dan dunia ini ibarat seseorang yang berjalan di terik matahari. Kemudian ia berteduh di bawah pohon. Ketika hari sudah teduh kembali, ia pun pergi."
Begitulah, tangisan Abdullah adalah tangisan keimanan. Tangis yang mengalir dari air mata cinta kepada Rasul. Sesuatu yang merupakan bagian penting dari keseluruhan serat-serat cinta seorang mukmin, setelah cintanya kepada Allah SWT. Itu adalah tangis kepedihan, atas 'ketidak mengertian' dunia akan arti dan harga sebuah kemuliaan. Bahwa semestinya para pengikut kekafiran, yang berlomba-lomba sekuat tenagauntuk menghalangi kebenaran, yang berusaha dengan segala daya untuk memadamkam cahaya iman, atau para penyebar kebusukan dan keculasan dalam segala bentuknya, semestinya mereka tak menikmati gemerlap dunia ini. Sebaliknya, Rasulullah SAW yang mulia yang membimbing manusia meninggalkan kegelapan menuju cahaya Islam yang terang semestinya mendapat kesenangan dunia yang layak.
Tetapi tangisan Abdullah bukan ratapan akan kemewahan dunia yang seakan tak berpihak kepada Rasul junjungannya, atau juga kepada dirinya. Tidak, ia tahu betul bagaimana memaknai imannya kepada Allah, juga kepada Rasul-Nya. Tetapi disinilah kita menyaksikan, bahwa sisi-sisi kemanusiaan seorang Abdullah muncul dan mengalirkan gelombang rasa gundah yang sangat alami. Apa yang dilihatnya dengan mata kepalanya, tentang tidur Rasulullah yang sangat bersahaja, juga tentang goresan-goresan bekas tidur itu, adalah obyek penglihatan mata yang sangat kontras. Sebuah pandangan yang seketika menghentak sisi kemanusiaan Abdullah.
Tangisan Abdullah, menjadi semacam perlambang, betapa tidak mudah bagi sisi-sisi manusiawi setiap orang bahkan mukmin, untuk menerima ganjilnya pemihakan dunia kepada orang-orang yang bejat. Namun sekejap gundah dan tangisnya, adalah sehamparan pelajaran bagi orang-orang beriman sesudahnya. Betapa bila kita mengukur hidup ini dengan timnangan dunia, akan banyak hal-hal yang sangat menyesakkan.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang benar justru diinjak dan dihinakan. Sebaliknya, para penjahat dan manusia-manusia kotor justru berkoar-koar bak manusia-manusia suci, diacungkan kepada mereka segala simbol penghargaan.
Lihatlah bagaimana keadilan sangat tidak berpihak kepada orang-orang yang punya hak.
Lihatlah bagaimana orang-orang yang hidupnya sangat hitam, berlumur darah orang-orang yang tak berdosa, justru bisa ditampilkan selayaknya pahlawan yang bertaburan sanjungan dan puji-pujian. Rasulullah SAW pernah menjelaskan tentang hari-hari yang sulit sepeninggalnya kelak, yaitu hari-hari ketika orang-orang yang benar didustakan dan orang-orang dosa dibenarkan. Dan hari-hari yang dimaksud telah banyak dijumpai saat ini, a'udzubillah !
Gemerlapnya dunia membutuhkan penyikapan yang arif, tidak hanya dengan menggunakan sisi-sisi kemanusiaan semata, dibutuhkan mata hati dan tidak sekedar mata kepala. Dibutuhkan ketajaman iman, dan tidak semata kalkulasi duniawi.
Seperti itulah yang kemudian dijelaskan Rasulullah SAW kepada Abdullah. Bagaimana sesuatu yang secara lahiriah aneh dan ganjil, bisa jadi sesungguhnya secara substansial betul-betul adil. Bagaimana sesuatu yang yang secara mata telanjang terlihat pahit, boleh jadi sesungguhnya itu adalah benih-benih bagi akhir yang manis dan kesudahan yang membahagiakan. Itulah jawaban iman. Jawaban Rasulullah juga memberi makna agar orang mukmin tidak silau dengan dunia dan tidak terpakau oleh gemerlapnya dunia. Karena setiap mukmin punya pengharapan lain yaitu kebahagiaan abadi di akhirat.
"Dunia itu ladangnya akhirat. Manfaatkan sisa waktumu di dunia sebaik-baiknya buat mencari bekal kepulangan rumah kita yang abadi di akhirat."

(sumber: Lelaki pendek, hitam dan lebih jelek dari untanya, Ahmad Zairofi, Tarbawi Press, 2006)

By: tika dewi | at 2:21 AM | |

Ya Rasulullah

Ya Rasulullah, sungguh kami mencintaimu...Semoga kami bisa menjadi sebak-baik umatmu..
Hari itu pada haji Wada' sebuah ayat turun, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu."
Para sahabat bergembira, mereka bersorak, "Agama kita telah sempurna, agama kita telah sempurna". Kegembiraan yang memuncaki 23 tahun perjuangan dengan segenap suka dan duka.
Di tengah kerumunan manusia pada hari Haji itu, seorang sahabat mulia justri bersedih. Abu Bakar As Siddiq, perasaannya yang halus, dan dengan segenap keistimewaan yang ia miliki, ia menangis. Ia memahami dibalik kesempurnaan pasti ada ada kesudahan. Ia menyadari, tidak lama lagi Sang Rasul tercinta akan meninggal dunia, meninggalkan sahabat, kembali ke haribaan Allah SWT.
Tangis sedih Abu Bakar didengar para sahabat. Setelah Abu Bakar menjelaskan mengapa ia menangis, para sahabatpun ikut menangis. Betapa menyedihkan, Sang kekasih tercinta, bertahun-tahun hidup dan berjuang bersama, segenap kesulitan dan kemudahan dilalui dalam persaudaraan yang tak ada duanya, tidak lama lagi akan tiada, meninggalkan dunia yang fana.
Mengetahui para sahabat menangis, Rasulullah SAW bergegas mendatangi mereka. Di depan para sahabat Rasulullah SAW berkata, "Semua yang dikatakan Abu Bakar ra adalah benar dan sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kamu semua telah hampir dekat."
Mendengar perkataan Sang RAsul, Abu Bakar kembali menangis hingga kemudian tak sadarkan diri, tubuh Ali bin Abi Thalib bergetar, dan sahabat lainnya menangis dengan sekuat yang mereka bisa.
Beberapa masa kemudian Rasulullah SAW sakit, kota Madinah berada dalam suasana kesedihan. Di suatu Subuh, setelah adzan, Bilal bin Rabah bergegas menuju kediaman Rasulullah, di sana Fatimah menyambut Bilal dan berkata, "Jangan kau ganggu Rasulullah, kondisinya sedang payah." Bilal kembali ke masjid, di sana masih tak ada yang sangup menggantikan sang Rasul menjadi imam shalat Subuh. Semua yang hadir di masjid diselimuti kesedihan. Kali kedua, Bilal kembali mendatangi kediaman Nabi dan Fatimah kembali mencegah Bilal bertemu dengan Nabi karena kondisi Nabi sedang buruk. Bilal menjawab, "Subuh hampir tiada, tak ada yang dapat memimpin shalat."
Dari dalam kamar Rasulullah SAW mendengar percakapan tersebut dan memerintahkan ABu Bakar menjadi imam shalat Subuh. "Abu Bakar terus menangis", seru Bilal. RAsulullah SAW pun bergegas ke masjid dipapah oleh para sahabat.
Masjid penuh sesak oleh kaum Muhajirind beserta Anshar. Ada sosok yang dicinta di sana, kekasih yang baru saja terbangun dari sakitnya yang membuat semua sahabat tak terlewatkan kesempatan ini.
Semua mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada Allah SWT.
Senyap segera saja datang, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara sang Nabi yang baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah.
Selanjutnya Rasulullah SAW bertanya, "Wahai sahabat, kalian tahu umurku tak akan panjang lagi. Siapakah diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil qishas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik".
Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah. Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening saripati cinta. Tak akan rela sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun akan digadaikan untuk membela Al Mustafa.
Melihat semua terdiam, Nabi mengulangi lagi ucapannya, kali ini suaranya terdengar lebih keras. MAsih saja para sahabat duduk tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi. Dialah Ukasyah Ibnu Muhsin.
Ya Rasul Allah, dulu aku pernah bersamamu di perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan. Dan aku menghampirimu agar dapat menciummu, wahai kekasih Allah, saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung sampingku", ucap Ukasyah.
Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh sang kekasih Allah.
Namun ia juga tidak mau mengecewakan Rasulullah. Segera setelah sampai, cambuk diserahkannya kepada Rasul Mulia. Dengan cepat cambuk berpindah tangan kepada Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.
Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju. Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak tadi, dialah Abu Bakar.
Dan yang kedua, sosok pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan pertempuran, Umar bin Khattab. Gemetar mereka berkata, "Hai Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian manapun yang paling kau inginkan, qishaslah kami jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah."
"Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian", Nabi memberi perintah secara tegas. Kedua sahabat itu pun lunglai, langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka pandangi sosok Ukasyah dengan pandangan memohon. Ukasyah tidak bergeming.
Melihat Umar dan Abu Bakar telah duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tak tinggal diam. Berdirilah ia di depan Ukasyah dengan berani. Hai Hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan qishas Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku.
"Allah SWT sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu ya Ali, duduklah kembali", ucap Nabi.
"Hai Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami cucu Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu artinya menqishas Rasul juga?"
Kini yang tampil di depan Ukasyah adalah Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka, "Wahai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah".
Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak terhitung yang menahan nafas. Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi Ukasyah mengambil qishas. Wahai Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil qishas, inilah ragaku, Nabi melangkah maju mendekatinya.
"Ya Rasul Allah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kain pun yang menghalangi lecutan cambuk itu".
Tanpa berbicara, Rasulullah langsung melepaskan gamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih.
Melihat tegap badan manusia yang maksum itu, Ukasyah langsung menanggalkan cambuknya dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang mengkristal kepada beliau dia tumpahkan saat itu. UKasyah menangis gembira, Ukasyah bertasbih memuji Allah, Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya berucap sendu, "Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai hati menqishas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api neraka."
Dengan tersenyum, Nabi berkata,"Ketahuilah wahai manusia, sesiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini".
Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain berebut mencium Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali.
Wahai Ukasyah, berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau, karena kelak engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul di surga. Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke seluruh penjuru Medinah.
----------------------------------------------------------
Duhai sahabat? Apa yang tengah kau pikirkan sekarang? Sejauh apa pengorbanan yang telah engkau berikan selama ini untuk membuktikan kecintaanmu kepada agamamu, Rasulmu dan Tuhanmu? Pantaskah diri kita menemani beliau kelak di surga? Waktu jangan terbuang sia-sia... Persiapkan dirimu mulai sekarang...Sebelum segalanya terlambat....
Subhanallah...Allahu Akbar...Allahu Akbar....!!
(Mutiara Amaly vol 31)

By: tika dewi | Wednesday, January 03, 2007 at 5:35 AM | |

Wanita Sholehah Akhir Zaman

Wanita bukan dijadikan diatas kepala untuk disanjung dan dipuja.
Wanita juga bukan dijadikan dari alas kaki untuk dipijak-pijak sebagai alas kaki.
Tetapi wanita dijadikan dari tulang rusuk kiri lelaki,
dekat dengan hati untuk disayangi,
dekat dengan tangan untuk dilindungi.
Tulang rusuk kiri lelaki, bengkok sifatnya.
Menjadi tanggung jawab lelaki untuk meluruskannya.
Adakah batang yang bengkok mampu menghasilkan bayangan yang lurus.
Akal wanita setipis rambutnya, selalu mengikut perasaan ketika berbicara.
Hati wanita serapuh kaca, mudah tersentuh dengan kata-kata.
Nafsu wanita setinggi gunung, hanya keimanan yang mampu menghalanginya.
Suara wanita gemersik bak buluh perindu hingga menusuk, membelai di kalbu.
Bicaranya wanita sehalus sutera, takkan jemu ketika mendengarnya.
Air mata wanita mahal harganya, tanda kasih pada kekasihnya.
Kasih wanita selembut salju, mampu membuat lelaki hilang tuju.
Disebalik tabir ada senyuman... diukir untuk suami beriman..yang menemani kehidupan.
Disebalik tabir ada tangisan, air mata dititiskan demi cinta Ar-Rahman.
Disebalik tabir ada amalan, yang bertunjangkan keimanan, mewarnai wajah kehidupan..
menuju kebahagiaan...
Disebalik tabir kini bersinar, cahaya indah takkan pudar, yang menyinari kehidupan...
Disebalik dahulunya terpancar garis kelukaan, datanglah Al Quran dan sunnah memberi ketenangan..
Wanita sholehah akhir zaman, dunia bukannya idaman, cintanya hanya pada Ar-Rahman..menuju ketaqwaan..
Dunia laksana perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah...
(Dikutip dari Mutiara Amaly, vol 17)

By: tika dewi | at 5:12 AM | |